Seorang
lelaki tua yang baru ditinggal mati isterinya tinggal bersama anaknya, Arwan
dan menantu perempuannya – Rina, serta cucunya – Viva yang baru berusia enam
tahun. Keadaan lelaki tua itu sudah uzur, jari-jemarinya senantiasa gemetar dan
pandangannya semakin hari semakin buram.
,
Malam pertama
pindah ke rumah anaknya, mereka makan malam bersama. Lelaki tua itu merasa
kurang nyaman menikmati hidangan di meja makan. Dia merasa amat canggung
menggunakan sendok dan garpu. Selama ini dia gemar bersila, tapi di rumah
anaknya dia tiada pilihan. Cukup sukar dirasa-kannya,sehingga seringkali
makanan tersebut tumpah. Sebenarnya dia merasa malu seperti itu di depan anak
menantu, tetapi dia gagal menahannya. Oleh karena kerap sekali dilirik menantu,
selera makannyapun hilang. Dan tatkala dia memegang gelas minuman, pegangannya
terlepas. Praannggg !! Bertaburanlah serpihan gelas di lantai.
Piring Bambu
Pak tua
menjadi serba salah. Dia bangun, mencoba memungut serpihan gelas itu, tapi
Arwan melarang nya. Rina cemberut, mukanya masam. Viva merasa kasihan melihat
kakeknya, tapi dia hanya dapat melihat untuk kemudian meneruskan makannya.
“Esok ayah
tak boleh makan bersama kita,” Viva mendengar ibunya berkata pada kakeknya,
ketika kakeknya beranjak masuk ke dalam kamar. Arwan hanya membisu. Sempat anak
kecil itu memandang tajam ke dalam mata ayahnya
Demi memenuhi
tuntutan Rina, Arwan membelikan sebuah meja kecil yang rendah, lalu diletakkan
di sudut ruang makan. Di situlah ayahnya menikmati hidangan sendirian,
sedangkan anak menantunya makan di meja makan. Viva juga dilarang apabila dia
merengek ingin makan bersama kakeknya.
Air mata
lelaki tua meleleh mengenang nasibnya diperlakukan demikian. Ketika itu dia
teringat kampung halaman yang ditinggalkan. Dia terkenang arwah isterinya. Lalu
perlahan-lahan dia berbisik: “Mah… buruk benar layanan anak kita pada abang.”
Sejak itu,
lelaki tua merasa tidak betah tinggal di situ. Setiap hari dia dihardik karena
menumpahkan sisa makanan. Dia diperlakukan seperti budak. Pernah dia terpikir
untuk lari dari situ, tetapi begitu dia teringat cucunya, dia pun menahan diri.
Dia tidak mau melukai hati cucunya. Biarlah dia menahan diri dicaci dan dihina
anak menantu. Suatu malam, Viva terperanjat melihat kakeknya makan menggunakan
piring kayu, begitu juga gelas minuman yang dibuat dari bambu. Dia mencoba
mengingat-ingat, di manakah dia pernah melihat piring seperti itu. “Oh! Ya…”
bisiknya. Viva teringat, semasa berkunjung ke rumah sahabat papanya, dia
melihat tuan rumah itu memberi makan kucing-kucing mereka menggunakan piring
yang sama!
“Tak akan ada
lagi yang pecah, kalau tidak begitu, nanti habis piring dan mangkuk ibu,” kata
Rina apabila anaknya bertanya. Waktu terus berlalu. Walaupun makanan berserakan
setiap kali waktu makan, tiada lagi piring atau gelas yang pecah. Apabila Viva
memandang kakeknya yang sedang menyuap makanan, kedua-duanya hanya berbalas
senyum.
Seminggu
kemudian, sewaktu pulang bekerja, Arwan dan Rina terperanjat melihat anak
mereka sedang bermain dengan kepingan-kepingan kayu. Viva seperti sedang
membuat sesuatu. Ada palu, gergaji dan pisau di sisinya.”Sedang membuat apa
sayang? Berbahaya main benda-benda seperti ini,” kata Arwan menegur manja
anaknya. Dia sedikit heran bagaimana anaknya dapat mengeluarkan peralatan itu,
padahal ia menyimpannya di dalam gudang.”Mau bikin piring, mangkuk dan gelas
untuk Ayah dan Ibu. Bila Viva besar nanti, supaya tak susah mencarinya, tak
usah ke pasar beli piring seperti untuk Kakek,” kata Viva.
Begitu
mendengar jawaban anaknya, Arwan terkejut. Perasaan Rina terusik. Kelopak mata
kedua-duanya basah. Jawaban Viva menusuk seluruh jantung, terasa seperti
diiiris pisau. Mereka tersentak, selama ini mereka telah berbuat salah ! Malam
itu Arwan menuntun tangan ayahnya ke meja makan. Rina menyendokkan nasi dan
menuangkan minuman ke dalam gelas. Nasi yang tumpah tidak dihiraukan lagi. Viva
beberapa kali memandang ibunya, kemudian ayah dan terakhir wajah kakeknya. Dia
tidak bertanya, cuma tersenyum saja, bahagia dapat duduk bersebelahan lagi
dengan kakeknya di meja makan. Lelaki tua itu juga tidak tahu kenapa anak
menantunya tiba-tiba berubah.
“Esok Viva
mau buang piring kayu dan gelas bambu itu” kata Viva pada ayahnya setelah selesai
makan. Arwan hanya mengangguk, tetapi dadanya masih terasa sesak karena merasa
bersalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar